Perjuangan diplomasi tidak yang
telah diupayakan belum menunjukkan hasil yang diharapkan. Bahkan, Belanda
secara sepihak berusaha menguasai Irian Barat. Hal ini menurut Indonesia
melakukan tindakan konfrontatif untuk menghadapi Belanda dalam bidang ekonomi
dan militer. Pada tanggal 13 Februari 1956, kabinte Btuhanuddin Harahap
melaksanakan pemburuan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Sebelumnya,
pemerintah Indonesia telah mengirimkan utusan Anak Agung Gede Agung untuk
merundingkan masalah finek (finansial ekonomi) dengan delegasi Belanda di
Jenewa (Swiss). Pada tanggal 7 Januari 1956, tercapai rencana Persetujuan Finek
yang berisi hal-hal sebagai berikut:
a. Persetujuaan
finek hasil KMB dibubarkan dan hubungan finek Indonesia-Belanda didasarkan atas
hubungan bilateral
b. Hubungan
finek didasarkan atas undang-undang nasional dan tidak boleh diikat oleh
perjanjian lain antara kedua belah pihak
Namun, persetujuan ini tidak
diterima oleh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, tidak ada cara lain bagi
Indonesia kecuali membubarkan Uni Indonesi-Belanda secara sepihak dan
melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan Belanda.
Rangkaian peristiwa itu membuat
banyak pengusaha Belanda di Indonesia yang menjual perusahaannya kepada orang-orang
Cina. Itulah sebabnya pada tanggal 19 Maret 1956, Mr. Assaat di depan Kongres
Nasional Importir Indinesia di Surabaya menganjurkan agar pemerintah nasional
melindungi para pengusaha nasional. Hal itu diskarenakan para pengusaha pribumi
belum mampu bersaing dengan pengusaha nonpribumi, khususnya pengusaha Cina.
Pernyataan Mr. Assaat ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Pemerintah
menanggapi dengan mengeluarkan pernyataan akan memberikan bantuan kepada
perusahaan yang 100% diusahakan oleh orang Indonesia. Perasaan anti-Cina muncul
di kalangan masyarakat dan menimbulkan tindakan perusakan di beberapa kota,
seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surakarta.
Sebagai tindak lanjut dan
oembubarakn Uni Indonesia-Belanda, pada tanggal 3 Mei 1956, Presiden Soekarno
menandatangani rancangan undang-undang pembatalan hubungan Indonesia-Belanda
berdasarkan hasil KMB. Pembatasan tersebut dilakukan secara sepihak oleh
Indonesia dengan menetapkan UU No.13 tahun 1956. Undang-undang tersebut menetapkan
bahwa hubungan Indonesia dengan Belanda selanjutnya adalah hubungan yang lazim
seperti negara-negara yang berdaulat penuh berdasarkan hukum internasional.
Kepentingan Belanda di Indonesia diperlakukan sesuai dengan ketentuan dan hukum
yang berlaku di Indonesia.
Setelah pembatasan hubungan
Indonesia-Belanda diresmikan pemerintah Indonesia segera meresmikan pembentukan
Provinsi Irian Barat dengan ibu kota Soasiu (Maluku Utara). Peresmian
pembentukan Provinsi Irian Barat bertepatan dengan hari ulang tahun Kemerdekaan
RI tanggal 17 Agustus 1956. Provinsi Irian Barat tersebut meliputi wilayah
Irian yang masih diduduki Belanda dan daerah Tidore, Oba, Weda, Patani, dan
Wasiledi (Maluku Utara). Adapun Gubernur Irian Barat saat ini dijabat oleh
Zaenal Abidin Syah (Sultan Tidore).
Konfrontasi pembebasan Irian
dengan sepenuh hati didukung oleh seluruh rakyat Indonesia karena sesuai dengan
cita-cita Proklamsi 17 Agustus 1945 dan jelas untuk kepentingan nasional. Pada
tahun 1957 dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat sebagai persiapan
untuk melaksanakan konfrontasi. Aksi pembebasan dilancarkan di seluruh tanah
air. Aksi itu dimulai dengan pengambilalihan perusahaan milik Belanda di
Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Untuk mencegah anarki dan menampung keinginan
rakyat, Kepala Staf Angkatan Darat selaku penguasa perang pusat memutuskan
untuk mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan kemudian menyerahkannya
kepada pemerintah Indonesia. Perusahaan milik Belanda yang berjumlah 700 buah
dinasionalisasi pada bulan Desember 1958. Puncak dari konfrontasi antara RI dan
Belanda adalah pemutusan hubungan diplomatic pada tanggal 17 Agustus 1960.
No comments:
Post a Comment